🥊 Ciri Ciri Ibu Tiri Yang Jahat
Demam mual, muntah, sembelit, diare, dan lain sebagainya. Ciri-ciri usus buntu yang khas adalah sakit perut sebelah kanan dan nyeri ketika ditekan. Peradangan apendiks ini berisiko terjadi pada pria dan wanita yang berusia 18-35 tahun. Untuk bisa menghindarinya, penyebab usus buntu harus diwaspadai juga.
Karenaperbedaan persepsi orang lain pun bisa dicap Ibu tiri jahat, tidak sayang sama anak tiri, dan masih banyak lainnya. Padahal itu tidak sepenuhnya benar, karena dimanapun Ibu tiri pasti berusaha baik dengan anak tiri. Dan biasanya hal-hal berikut ini yang membuat dilema bagi para Ibu tiri. 4 Dilema Yang Hanya Dipahami Saat Menjadi Ibu Tiri
Ibumertua saya memiliki 5 gelar sarjana, yang beberapa ia dapatkan dalam waktu bersamaan, bapak mertua saya dulunya adalah salah satu profesor matematika terkemuka di Prancis yang di waktu luangnya suka membaca bahasa Yunani Kuno, bapak mertua tiri saya dulunya dosen di Universitas Oxford.
a Dewa dewi, ibu dan saudara tiri yang jahat, raja dan ratu, pangeran dan putrid, ahli nujum. b) Peri, wanita penyihir, raksasa, orang kerdil, putri duyung, monster naga c) Binatang, misalnya ikan ajaib, dan kancil d) Kastil, hutan yang memikat, negeri ajaib, e) Benda ajaib, misalnya lampu ajaib, cincin, permadani, dan cermin.
Kolesteroltidak sepenuhnya jahat. Namun, terlalu banyak kolesterol dalam tubuh tentu berbahaya. Sementara pria dan wanita diatas umur 20 tahun yang sudah mempunyai resiko penyakit jantung dan riwayat kolesterol tinggi juga disarankan untuk memeriksakan kadar kolesterolnya secara berkala. Ciri - ciri Kolesterol Naik yang Harus Kamu
Merekabiasanya benar-benar baik atau seluruhnya jahat dan mudah untuk mengidentifikasi. Mereka tidak menginternalisasi perasaan mereka dan jarang terganggu oleh siksaan mental. Motivasi dalam karakter folklor cenderung tunggal; yaitu, karakter termotivasi oleh satu keinginan utama seperti keserakahan, cinta, ketakutan, kebencian, dan kecemburuan.
Apavideo selanjutnya ? silahkan komentar di bawah yadan support terus video ini dengan menekan tombol subscribe#drama#sakuraschoolsimulator#dramasss#dramasa
Nontonaja lu pada..subscribe dong😉Kalian bisa rekques di kolom komentar
Sayaterus berfikir bahawa ibu kucing itu jahat. Padahal hakikat sebenarnya itulah cara ibu kucing membawa anaknya. Gigi kucing mempunyai deria yang mampu mengawal tekanan gigitan yang tidak mencederakan anaknya. Jika kita tidak tahu maka kita terus menyalahkan orang lain. Janganlah kita berlagak tahu dan berserahlah dengan yang esa.
Sepertiyang sudah disebutkan di atas, salah satu gejala umum penyakit usus buntu adalah nyeri pada perut yang terjadi secara mendadak. Gejala tersebut terjadi karena usus buntu mengalami peradangan serta pembengkakan. Hal ini pun mengiritasi lapisan dinding perut, sehingga penderita akan mengalami nyeri di bagian perut.
Cirilain kalau suami sedang berbohong, yakni ia merasa gugup. Kegugupannya tersebut dapat terlihat dari seringnya menelan ludah ketika bicara padamu. Tidak hanya itu, ia juga sering berdeham untuk menutupi rasa gugupnya. Tentu saja dia tidak akan berlaku seperti itu apabila tidak ada yang sedang disembunyikan. 3. Cara bicaranya berbeda
Yangnamanya ibu tiri gak selalu jahat kok. Sudah banyak yang membuktikan bahwa ibu tiri bisa menyayangi anak dari suaminya. Beberapa artis ini pun menunjukkan hubungan yang akur dengan ibu tirinya. Meski awalnya gak saling mengenal, lambat laun mereka mulai menerima kehadiran ibu tiri di tengah keluarga.
2VfHQ. The story of the stepmother in almost all cultures often describes her as evil, ambitious, and cruel. This paper presents a comparative study of two Indonesian folklore that presents the theme of stepmother. Through a structural and sociological approach, it is found that the storyline is not much different from the folktale of the stepmother in general. What distinguishes it is the heroic or supernatural part of it gets less emphasis even though it still remain exists. Apparently, such stories need special attention revision, especially for the formation of a stepmother image in the midst of society so that negative stigma does not adversely affect the child's life Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Sosial Humaniora [2017], Volume 10, Ed. 1 ISSN Online 2443-3527 ISSN Print 1979-5521 1 - JSH Karakter Ibu Tiri Selalu Jahat? Studi Perbandingan Cerita Rakyat Indonesia Aurelius Ratu UPM Soshum, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,60111 Diterima 31 Mei 2017 Di-review 05 Juni 2017 Diterbitkan 30 Juni 2017 Hak Cipta © 2017oleh Penulis dkk danJurnal Sosial Humaniora JSH *This work is licensed under the Creative Commons Attribution InternationalLicense CC BY Subject Areas Linguistict,Philosphy Abstract The story of the stepmother in almost all cultures often describes her as evil, ambitious, and cruel. This paper presents a comparative study of two Indonesian folklore that presents the theme of stepmother. Through a structural and sociological approach, it is found that the storyline is not much different from the folktale of the stepmother in general. What distinguishes it is the heroic or supernatural part of it gets less emphasis even though it still remain exists. Apparently, such stories need special attention revision, especially for the formation of a stepmother image in the midst of society so that negative stigma does not adversely affect the child's life Keywords Step mother; folklore; evil; child. Pendahuluan/Latar Belakang Bukan suatu kebetulan bahwa beberapa cerita rakyat Indonesia mengetengahkan kemiripan tema meskipun cerita tersebut berasal dari daerah yang berbeda. Adanya kemirpan demikian tampaknya disebabkan oleh usaha pendasaran rasional’ atas segala macam fenomena yang terjadi di masyarakat tradisional saat itu Ricoeur, 1967; Lévi-Strauss, 1955. Perlu dipahami pula bahwa dasar rasional’ di sini tidaklah dipahami dalam pengertian ilmiah modernitas dewasa ini, yakni salah satunya uji eksperimental. Memaksakan pemahaman modern atas cerita atau mitologi yang lahir dari budaya tradisional justru akan menciptakan kesulitan. Tulisan ini hendak membahas dan mengupas struktur dan fungsi sosial dari dua cerita atau mitologi yang berasal dari Kalimantan dan Sumbawa, berjudul Tampe Ruma Sani dan Pesut Mahakam. Pemilihan dua cerita rakyat ini lantaran tema yang diangkat oleh dua cerita rakyat ini justru sama, yakni mengenai Ibu Tiri Mengapa Harus Bercerita? Cerita itu pertama-tama berarti peristiwa hidup manusia yang mengandung pesan moral-etis pada manusia. Dikatakan peristiwa hidup manusia karena hal ini menyangkut pengalaman manusiawi yang berdimensi ruang dan waktu; penderitaan, kegembiraan, harapan, suka dan duka, kegelisahan, kecemasan, impian dan cita-citanya. Setiap cerita yang ada dengan sendirinya akan memiliki ciri-ciri demikian. Aristoteles pernah menyatakan bahwa apa yang membuat manusia mampu berkomunikasi dan sekaligus menunjukkan dirinya sebagai mahkluk paling unggul adalah kemampuannya berbicara Aristotle, 1999. Dengan kemampuan demikian, Aristoteles hendak menegaskan kodrat sosialitas Aurelius Ratu 2 - JSH manusia. Dalam ranah budaya, kodrat sosialitas ini mendapat wujudnya adanya sistem nilai untuk tata hidup bersama, tradisi oral lantas mendapat tempat pertama sebagai sarana mengkomunikasikan nilai dan kebiasaan kepada generasi berikutnya Adger, 2015. Dan ini terwujud dalam bentuk cerita/narasi itu sendiri Lassiter, 2016 Baydak, Scharioth, & Il, 2015. Di pihak lain, tradisi oral ini sebenarnya tidak hanya berusaha menyampaikan nilai semata atau pun kebiasaan baik saja. Apa yang disampaikan adalah apa yang menjadi pergulatan hidup masyarakat tradisioal setempat meliputi, kewaspadaan, pandangan tentang masa depan, atau pun gejala-gejala alam yang dipandang memiliki pengaruh bagi hidup mereka. Dengan kata lain, narasi/cerita yang lahir dari masyarakat tradisional menyingkapkan satu pandangan holistik tentang dunia di mana mereka hidup Piccardi, L. & Masse, 2007. Lantaran karakter holistik demikian, maka semua hal termasuk fenomena atau gejala alam dipandang oleh masyarakat sebagai yang memiliki kehidupannya sendiri. Bintang di langit atau juga gejala alam seperti gempa bumi dipandang sebagai yang memiliki hidup sekaligus kekuatan yang bisa menghancurkan atau mendukung masyarakat tradisional tersebut. Hal ini – salah satunya – bisa dibaca dari mitologi Andalas yang berjudul Nabang, Si Penunggang Paus ada yang menyebutnya, A Wave That Eats People. Mitologi ini bercerita tentang Smong, si Naga, yang jika marah akan menghisap air laut Tsunami Piccardi, L. & Masse, 2007Eidinow, 2016. Setidaknya, apa yang mau disampaikan dari mitologi Smong adalah bahwa peristiwa air laut yang terhisap oleh naga Smong Tsunami pernah terjadi sebelumnya dan untuk mengantisipasi sekaligus mempertahankan keberlangsungan masyarakat tradisional setempat yang mengalami peristiwa tersebut disampaikanlah peristiwa ini kepada generasi berikutnya dalam bentuk cerita. Akhirnya, mungkin tepat jika mengatakan bahwa di balik cerita atau mitologi terdapat sebuah realitas. Pendekatan Metodologi Sebagaimana sudah dinyatakan di atas, tulisan ini akan berusaha mengupas struktur dan fungsi sosial cerita ibu tiri dari Tampe Ruma Sani Yaningsih, 1996 dan Pesut Mahakam “Pesut Mahakam,” Untuk memahami lebih lanjut pendekatan demikian, berikut penjelasannya. Pendekatan strukturalisme adalah sebuah pendekatan yang hendak membaca dan menganalisa cerita rakyat atau mitologi berdasar pada aspek kemiripan dari narasi/cerita. Dengan kata lain, yang hendak diamati adalah struktur alur cerita itu sendiri lepas dari apakah cerita itu berdasar peristiwa nyata atau tidak. Ini berarti pendekatan demikian melihat alur hubungan logika dari cerita tersebut. Dan harus diakui, pendekatan ini bersifat ahistoris Piccardi, L. & Masse, 2007. Mengapa? Sedikit banyak lantaran melihat bahasa sebagai alat matematis dan ini berarti melihat makna suatu hal justru bersandar dalam suatu sistem yang lebih luas, pars pro toto Claude Lévi-Strauss, 1963. Beberapa karya dari pendekatan demikian dapat dilihat pada Tychkin, 2015; Igor Fic, Kateřina Ďoubalováb, 2014. Sementara itu, pendekatan fungsi sosial adalah pendekatan yang hendak membaca dan menganalisa cerita rakyat atau mitologi berdasar pada kemunculan cerita itu sebagai tanggapan terhadap keberadaan dan keberlangsungan masyarakat tradisional setempat. Pendekatan ini merupakan aplikasi dari pemikiran Emile Aurelius Ratu 3 - JSH Durkhheim mengenai bentuk dasar kehidupan religiusitas masyarakat kuno di mana cerita/mitos dipandang sebagai penjaga keutuhan sosial dan sistem moral Durkheim, 1995Piccardi, L. & Masse, 2007. Ini berarti pendekatan demikian hendak mengamati bagaimana cerita tersebut mampu menjaga keberlangsungan masyarakat dengan sistem moralnya dan sekaligus memperkuat ikatan sosial. Pendekatan seperti ini dapat dilihat pada Osman & Hashimah, 2014 dan Smith & Weisstub, 2016. Pembahasan Sebelum masuk lebih jauh, pembahasan pada bagian ini hanya akan membatasi diri pada beberapa hal penting Tokoh, Awal Persoalan, Campur Tangan Yang Ilahi, setting, dan alur/plot. Bersamaan dengan hal-hal ini, akan disimak pula bingkai yang memberi struktur pada dua cerita ini. Pendekatan Struktural❖ Seorang ayah ayah Tampe Ruma Sani, tidak memiliki nama. ❖ Seorang ibu ibu Tampe, tidak memiliki nama ❖ Tampe Ruma Sani anak pertama, perempuan ❖ Mahama Laga Ligo adik Tampe, laki-laki ❖ Seorang ibu tiri, tidak memiliki nama ❖ Hulubalang kerajaan ❖ Seorang Raja tanpa penyebutan nama kerajaan ❖ Sang Ayah, tanpa nama ❖ Sang Ibu, tanpa nama ❖ Seorang putra, tanpa nama anak pertama ❖ Seorang putri, tanpa nama anak kedua ❖ Sesepuh desa ❖ Seorang kakek ❖ Beberapa tetangga ❖ Penduduk desa Identifikasi permulaan/awal masalah ❖ Ibu Tampe meninggal tanpa diceritakan sebabnya ❖ Dan, Tampe yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa’. ❖ Perubahan sikap ibu tiri tanpa dijelaskan alasannya. ❖ Sang Ibu meninggal dunia karena sakit yang tidak bisa disembuhkan. ❖ Kesedihan sang ayah ❖ Ibu tiri lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik’. Tidak dijelaskan lebih lanjut perubahan sikap ketidaksukaan ibu tiri. Kejadian atas Campur Tangan Ilahi Tabel 1 Analisa Strukturalisme Baik cerita rakyat Tampe Ruma Sani dan Pesut Mahakam sama-sama menghadirkan dan menonjolkan kehidupan awal sebuah keluarga di dusun dan kampung. Hanya, yang membedakannya adalah pada cerita Tampe Ruma Sani, si ibu diceritakan sudah meninggal tanpa dijelaskan sebabnya – yang tampaknya tidak begitu penting. Sementara pada Pesut Mahakam, si ibu meninggal karena sakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga Aurelius Ratu 4 - JSH menghilangkan suasana kebahagiaan yang ada sebelumnya. Struktur lainnya dari dua cerita ini adalah berkaitan dengan hadirnya orang lain dalam problematika hubungan anak dan ibu tiri. Pada Tampe Ruma Sani, hal ini diwakilkan pada sosok penduduk kampung, hulubalang kerajaan dan raja itu sendiri. Sementara pada Pesut Mahakam, hal ini diwakilkan pada sosok dua orang kakek , sesepuh desa dan penduduk desa. Hal yang menarik adalah pada Tampe Ruma Sani, penduduk kampung sudah dihadirkan di awal cerita dan mereka memahami kesusahan Tampe Ruma Sani. Masalahnya adalah penduduk kampung hanya digambarkan merasa iba semata tanpa ada tindakan membantu meringankan. “Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa”. Dalam konteks demikian, justru yang digambarkan ulet dan tabah adalah Tampe Ruma Sani sendiri bahkan terkesan cerdik lantaran “Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat”. Ketika seorang janda menyapa dia Sementara pada cerita Pesut Mahakam, hal sebaliknya diperlihatkan oleh penduduk desa terutama para sesepuh desa yang mencoba menasehati’ sepeninggal ibu kandung karena sakit. Berkaitan dengan hadirnya janda dan gadis yang akan menjadi ibu tiri, cerita rakyat Tampe Ruma Sani memunculkannya seolah tanpa penjelasan terlebih dahulu. Akan tetapi, sebenarnya tidaklah demikian. Alur atau plot kisah tampak menghilangkan perkenalan ini. Dari mana dapat diketahui? Si janda jelas bukan orang asing di kampung tersebut. Pengakuan bahwa hidup Tampe mendapat belas kasihan dari penduduk desa adalah indikator hal ini. Si janda dengan kata lain adalah salah satu penduduk desa tersebut yang rupanya sering mengamati Tampe Ruma Sani. Sampai poin ini, munculnya terminologi janda sungguh mengejutkan karena si ayah di mana istrinya sudah meninggal tidak dilekatkan dengan terminologi duda dalam cerita tersebut. Pada cerita Pesut Mahakam, hadirnya gadis yang akan menjadi ibu tiri mendapat kronologis yang jelas Panen, pesta panen masyarakat yang disertai dengan pertunjukkan, jatuh cinta dan menikah. Berkaitan dengan perubahan sikap ibu tiri, dua cerita rakyat ini menjelaskan bahwa lama-kelamaan sikapnya berubah/memiliki sifat yang kurang baik’. Bagian inilah yang menjadi poros untuk jalan cerita selanjutnya. Alasan atas perubahan sikap ini tidak dijelaskan memuaskan. Tampaknya, bukan itu maksud cerita ini – yang akan dijelaskan pada bagian pendekatan fungsi sosial. Terakhir dari bagian pendekatan struktural ini adalah bahwa bingkai dua cerita ini harus diakui sangat menarik. Mengapa? pada cerita Tampe Ruma Sani akhir cerita justru ditutup dengan kebahagiaan setelah sebelumnya mengalami penindasan dan kekerasan oleh ibu tiri, yakni Tampe Ruma Sani dijadikan permaisuri oleh seorang Raja. Sementara pada Pesut Mahakam justru sebaliknya. Apakah bagian akhir ini adalah tambahan plot dari generasi sesudahnya? Sulit untuk memastikannya, tapi akan berusaha untuk ditanggapi di bagian akhir pembahasan ini. Pendekatan Fungsi Sosial Sosiologis Sebelum masuk lebih jauh, mari melihat beberapa gambaran awal cerita yang setidaknya Aurelius Ratu 5 - JSH dapat secara umum menjelaskan kehidupan sosial di kampung atau dusun tersebut dari masing-masing cerita. Sebagaimana sudah dinyatakan di atas, gagasan pokok dari pendekatan sosiologis ini adalah bahwa cerita ini dikisahkan sebagai tanggapan atas eksistensi sosial saat itu masalah moral, aturan, sistem, dan sebagainya. Karena ini bertemakan ibu tiri, maka melihat gambaran keluarga akan ditampilkan pertama. Setelah itu, berkaitan dengan pernikahan. Gambaran Keluarga Cerita Tampe Ruma Sani langsung dibuka dengan perkenalan tokoh Tampe Ruma Sani yang harus bekerja keras lantaran ibunya sudah meninggal. Tanpa deskripsi mengenai latar sosial, cerita rakyat ini tampaknya langsung pada pokok masalah, yakni ketiadaan seorang ibu dan dampaknya bagi keluarga. Bahkan melalui perpektif sosialogis, gambaran keluarga ini merupakan suatu bentuk keluarga yang deviant, yakni tidak normal Ganong, L; Coleman, 2017. Ini seolah menyatakan bahwa hidup tanpa seorang ibu adalah aib. Untuk menghilangkan aib ini, maka si ayah seharusnya mencari wanita lain untuk dinikahi. Masalahnya, yang justru mendatangi keluarga Tampe adalah seorang janda. Cukup menarik. Mengapa? Istilah janda’ pun rupanya menyatakan hal yang sama sebagai a deviant family formGanong, L; Coleman, 2017. Tanpa penjelasan lebih lanjut, pernikahan tersebut dijalankan seolah hendak menormalkan’ kehidupan dua keluarga. Berkaitan dengan cerita Pesut Mahakam, latar sosial sangat jelas dengan kohesivitas warga desa tersebut. Ditambah lagi soal restu dan persetujuan untuk menikah. Gambaran mengenai tradisi panen, pesta untuk merayakannya, hingga pernikahan lumayan jelas dikisahkan meski di tengah-tengah cerita diselipkan kegundahan dan kebingungan sang ayah dan dua anaknya setelah ibu mereka meninggal. Cerita ini memang dibuka dengan gambaran kebahagiaan dan kesejahteraan sebuah keluarga. Masalah dalam keluarga muncul ketika sang ibu meninggal. Ini terbalik dengan cerita rakyat Tampe yang justru mulai dengan hadirnya ibu tiri. Mengapa demikian? Tampaknya, Cerita Pesut Mahakam hendak menegaskan di awal bahwa lengkapnya keluarga merupakan situasi ideal di tengah masyarakat Situasi Sosial Mari melihat secara lebih luas lagi konteks dan makna sosial dua cerita ini. Hal yang menarik adalah bagaimana si janda hendak menjadi istri atau ibu tiri bagi Tampe dan adiknya dengan kesanggupan membuat tembe sarung, sambolo destar dan ro sarowa celana’. Dalam beberapa literatur, hanya tembe yang kerap disebutkan sebagai sarung khas yang dipakai oleh masyarakat Bima Dou Mbojo. Sambolo Sejenis Penutup Kepala yang terbuat dari kain kapas dan biasanya bercorak kotak-kotak dan RoSarowa justru sangat jarang. Setelah masukanya Islam dan terutama pondasi hidup sosial didasarkan pada hukum Islam, tembe lantas menjadi identias budaya bagi wanita Bima yang dikenal sebagai Rimpu Tembe Siti Lamusiah, 2013, Aulia, Lebih tepatnya Rimpu Tembe adalah cara berbusana wanita Bima dengan sarung - tembe - yang menampilkan karakter islami. Masalahnya, sebelum tradisi Rimpu muncul, tembe sudah ada dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Bima. Ini berarti kemungkinan besar, cerita ini lahir dari konteks Aurelius Ratu 6 - JSH sosial sebelum masuknya Islam. Tapi, untuk apa hal ini tentang Ibu Tiri diceritakan? Sebelum menjawab, mari melihat cerita Pesut Mahakam. Sebagaimana telah dikatakan di atas, situasi sosial sangat kentara dikisahkan. Keakraban satu sama lain hingga sesepuh desa yang ikut serta dalam nasehat dan persetujuan pernikahan pun tampak jelas. Poinnya, dukungan para penduduk desa terhadap pernikahan sangat kuat. Namun, sama seperti cerita Tampe Ruma Sani, lama-kelamaan sikap ibu tiri menjadi jahat terhadap anak-anaknya. Dalam arti tertentu, tema mengenai ibu tiri dapat dikatakan tidaklah seberapa penting Claxton-Oldfield, 2000 sebagaimana misalnya Malin Kundang yang mengangkat nilai tentang kedurhakaan seorang anak. Dan memang demikianlah cerita rakyat Tampe Ruma Sani ketika cerita ini hanya berkutat soal penderitaan anak dan kekejaman ibu tiri. Potret negatif ibu tiri hampir di semua kebudayaan memiliki kesamaan. Bahkan dari dua cerita di atas pun, dapat dilihat bahwa setelah pernikahan, keluarga tersebut justru kurang mendapat dukungan Claxton-Oldfield, 2000. Tapi, untuk cerita pesut Mahakam cukup berbeda lantaran tetangga masih kerap disebut sebagai unsur yang masih memelihara keakraban penduduk desa. Unsur Supra-Natural Tidak dapat dipungkiri bahwa meski cerita rakyat atau bahkan mitos tentang ibu tiri hampir tidak memiliki rujukan pada peristiwa atau fenomena alam, kehadiran unsur mistis/supra-natural kerap menghiasi cerita-cerita demikian ini. Pada cerita Tampe Ruma Sani, dapat dilihat dari bagian ketika Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis. Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu’ Sementara pada cerita rakyat Pesut Mahakan, dapat dilihat pada kalimat si kakek, “Kalau begitu…, pergilah kalian ke arah sana.” kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, “Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!” Bagian ini memang sepertinya hanya alur biasa. Namun, jika diamati dalam keseluruhan cerita, bagian ini justru adalah poros yang menghubungkan alur awal dan akhir cerita. Sulit untuk tidak menyatakan bahwa apa yang sekirannya mau disampaikan dari plot ini adalah anak yang dibuang oleh ibu tiri selalu mendapat perlindungan Yang Kuasa. Bahkan cerita Tampe Ruma Sani justru ditutup dengan akhir bahagia yang menjadi bingkai seluruh cerita, yakni kesedihan – kebahagiaan. Kesimpulan Dua cerita rakyat ini bertemakan tentang ibu tiri. Di Indonesia sendiri pun, cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih pun memaparkan tema yang sama dan sangat terkenal selain dua cerita rakyat di atas. Secara umum, berkat bantuan cerita demikian, gambaran ibu tiri pun mendapat konotasi yang lumayan buruk. Beberapa contoh yang bisa disebutkan antara lain adalah film garapan Imam Tantowi berjudul Kejamnya Ibu Tiri Tidak Sekejam Ibu Kota 1981 dan kasus Ari Anggara yang lantas difilmkan. Dalam kebudayaan dunia, ada sekitar 900 Aurelius Ratu 7 - JSH cerita tentang ibu tiri dan yang terkenal di antaranya adalah Cinderalla dan SnowWhite. Mungkin, pertanyaan yang perlu lebih dulu dijawab adalah mengapa ibu tiri selalu berkarakter jahat? Ada pendapat yang menyatakan bahwa karakter jahat ini sebenarnya tidak terlepas dari hasrat terpendam manusia yang tanpa batas yang ingin memberontak terhadap norma yang ada. Dan karakter jahat ibu tiri menjadi representasi atas hal ini Sels, 2011. Melalui pendekatan struktural dan sosiologis, dapat diamati bahwa cerita ibu tiri hendak menampilkan bagaimana seharusnya masyarakat memandang adanya keluarga seperti ini Ganong & Coleman, 1997. Diakui bahwa aneka cerita-cerita rakyat mengenai ibu tiri yang bertebaran di kebudayaan Indonesia kerap justru meneguhkan posisi negatif ibu tiri. Pada poin inilah, seharusnya perubahan paradigma masyarakat perlu diperhatikan sebagaimana yang diterapkan melalui fungsi bahasa Easteal, Bartels, & Bradford, 2012, pendidikan Gorelova, 2014 dan pembinaan keluarga Recker, Agent, & County, 2001Fluitt & Paradise, 1991 Referensi Adger, D. 2015. Mythical myths Comments on Vyvyan Evans’ “The Language Myth.” Lingua, 158, 76–80. Aristotle. 1999. Politics. Batoche Books, 192. Aulia, R. N. Rimpu budaya dalam dimensi busana bercadar perempuan bima. Baydak, A. V, Scharioth, C., & Il, I. A. 2015. Interaction of Language and Culture in the Process of International Education. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 215June, 14–18. Claude Lévi-Strauss. 1963. Structural Anthropology. Transl. by Claire Jacobson and Brooke Ed. First. New York BASIC BOOKS, Inc. Claxton-Oldfield, S. 2000. Deconstructing the myth of hte wicked stepparent. Marriage & Family Review, 301–2, 51–58. Durkheim, É. 1995. The Elementary Forms of Religious Life. Transl. by Karen Ed.. New York The Free Press. Easteal, P., Bartels, L., & Bradford, S. 2012. Language , gender and “ reality ” Violence against women. International Journal of Law, Crime and Justice, 404, 324–337. Eidinow, E. 2016. Telling stories Exploring the relationship between myths and ecological wisdom. Landscape and Urban Planning, 155, 47–52. Fic, I., & Ďoubalová, K. 2014. Myth, History and Art. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 149, 339–343. Fluitt, M. S., & Paradise, L. V. 1991. The relationship of current family structures to young adults’ perceptions of stepparents. Journal of Divorce & Remarriage, 153–4, 159–174. Ganong, L; Coleman, M. 2017. Stepfamily Relationships, 21–37. Ganong, L. H., & Coleman, M. 1997. How Society Views Stepfamiles. Marriage & Family Review, 261/2, 85–106. Gorelova, J. N. 2014. Advertising language as a means of forming students ’ cross -cultural competence. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 152, 668–672. Lassiter, C. 2016. Aristotle and distributed language capacity, matter, structure, and languaging. Language Sciences, 53, 8–20. Lévi-Strauss, C. 1955. The structural study of myth. The Journal of American Folklore, 68270, 428–444. Osman, M., & Hashimah, N. 2014. Social Criticism via Myths and Metaphors an Ad-hoc Analysis. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 118, 265–272. Pesut Mahakam. Retrieved March 20, 2017, from Piccardi, L. & Masse, W. B. 2007. Myth and Geology. L. P. and Ed., The Aurelius Ratu 8 - JSH Geological Society Special Pu. London The Geologial Society. Recker, N. K., Agent, C. S., & County, A. 2001. The Evil Stepmother, 8292800, 1–2. Ricoeur, P. 1967. Symbolism of Evil First Edit. New York Harper & Row. Sels, N. 2011. On the Relation of Mythology and Psychoanalysis, 22, 56–70. Siti Lamusiah. 2013. Estetika Budaya Rimpu Pada Masyarakat Bima, 71978, 17–23. Smith, J. C., & Weisstub, D. N. 2016. The unconscious, myth, and the rule of law Reflections on the persistence of gender inequality. International Journal of Law and Psychiatry, 48, 62–76. Tychkin, P. 2015. Myth as an anthropological phenomenon in the context of modern cognitive processes. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 166, 460–463. Yaningsih, S. 1996. Cerita rakyat dari Nusa Tenggara Barat. Retrieved March 20, 2017, from dari Dompu%2C salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat&f=false Diah AstutiThis study aims to determine how the experience of being a good stepmother for children with cerebral palsy CP children. With the stigma of a stepmother who tends to be negative, is it still possible to be a good stepmother for a CP child? In answering this question, the writer uses Talcot Parson's functionalism-structuralist theory to see the fulfillment of certain conditions for the creation of a stable/harmonious family. Data collection is done by interview and observation techniques. This research concludes that stepmothers are not always bad, not ideal, or evil-tempered. The determinants of how a stepmother is accepted are inseparable from the background of her life and acceptance and support from the family, both the nuclear family or extended family. [Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengalaman menjadi ibu tiri yang baik bagi anak dengan cerebral palsy anak CP. Dengan stigma ibu tiri yang cenderung negatif, masih mungkinkah menjadi ibu tiri yang baik bagi seorang anak CP? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan teori fungsionalisme-strukturalis dari Talcot Parson untuk melihat pemenuhan syarat tertentu demi terciptanya keluarga yang stabil/harmonis. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ibu tiri tidak selalu buruk, tidak ideal, atau berperangai jahat. Adapun faktor penentu bagaimana ibu tiri diterima tidak terlepas dari latar belakang kehidupannya dan penerimaan dan dukungan dari keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar.]Membangun TradisiBerfikir Qur 'ani JurnalStudi Al-Qur 'an Rihlah Nur AuliaA. Pendahuluan Rimpu adalah memakai sarung dengan melingkarkannya pada kepala dimana yang terlihat hanya wajah pemakainya dengan menggunakan sarung. kebudayaan rimpu yang merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat Bima. Umumnya, kaum perempuan memakai rimpu untuk menutup auratnya sebagaimana ajaran Islam mengajarkan bahwa setiap kaum perempuan yang sudah aqil balik harus menutup auratnya di hadapan orang yang bukan muhrimnya. Dalam masyarakat Simpasai diwujudkan dengan memakai sarimpu sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah SWT. Budaya rimpu mulai dikenal sejak masuknya Islam di Bima yang dibawa oleh tokoh-tokoh agama dari Gowa Makassar. Meskipun di masyarakat Gowa sendiri tidak mengenal budaya rimpu sehingga budaya rimpu merupakan hasil dari kebudayaan kaum perempuan di Bima khususnya di Simpasai. Budaya "rimpu" telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam Kesultanan atau Kerajaan Islam. Apa dan bagaimana budaya rimpu pada masyarakat perempuan bima akan diulas dalam tulisan ini. B. Sejarah dan Struktur Sosial Masyarakat Bima Bima dikenal dengan nama Mbojo yang berasal dari kata babuju yaitu tanah yang tinggi yang merupakan busut jantan yang agak besar, tempat bersemayamnya raja-raja ketika dilantik dan disumpah, yang terletak di kamopung Dara. Sedangkan namn Bima, merupakan nama leluhur raja-raja Bima yang pertama. Dulunya, Bima merupakan kerajaan terpenting di Pulau Sumbawa maupun Di kawasan Sunda Kecil pada Kurun waktu abad ke 17-19. Kerajaan Bima dalam perkembangannya banyak melakukan hubungan dengan Makasar. Bima terletak di tengah-tengah jalur maritim yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke Maluku. Sejumlah peninggalan purbakala dan prasasti serta kutipan dari teks Jawa Kuna seperti Nagarakertagama dan Pararaton membuktikan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi sekitar abad ke 10 Waktu orang Portugis menjelajahi Kepulauan Nusantara, Biama telah menjadi pusat perdagangan yang berarti. Pada dasawarsa kedua abad ke 16,Alexandra V. BaydakClaudia SchariothIrina A. Il’yashenkoTransition to the new anthropological paradigm that took place in science at the turn of the 21st century encouraged the formation and development of a number of humanitarian disciplines in one way or another combining the two systems - language and culture. The article describes the types of language and culture interaction within sociolinguistics, ethnolinguistics, linguistic and cultural studies, cultural linguistics. In order to describe the language and culture interaction as a complex problem, there was allocated a special unit that combines both phenomena - language and culture. The article deals with the interrelation of concept and word, concept and meaning, concept and notion, as well as the question of the approaches to the expression of concept in language. Yuliya N. GorelovaThe process of globalization changes the requirements to the competences of university graduates. That is why many universities in the Russian Federation are aimed at changing and enlarging their curriculum so as to include the courses that can add to the linguistic and cross-cultural competence of students, making them more competitive on the labour market. With this in view, the university administration supports the introduction of programs for additional professional education which enable undergraduates to acquire several qualifications simultaneously. “Translator for professional communication” namely, economics is an example of such program which is organized in the Kazan Federal University at the department of foreign languages for economics, business and finance. The program curriculum includes the “Advertising language” course and the purpose of the article is to describe the cross-cultural potential of the discipline mentioned and determine its significance for would-be translators. Cross-cultural competence is viewed as a vital component of translating competence as the process of translation cannot be implemented without the ability to interact cross-culturally. As a result of completing the course students form cross-cultural competence, enhance their linguistic and translating skills; gain the ability to distinguish cultural differences and specific cultural traits, as well as the ability to cope with these FicKateřina ĎoubalováText of the present study is a contribution to solving the issue of the relationship of myth, history and art poetry. In general, it presents an analysis of the linkages between myth, history and poetry, creating a theoretical basis for future empirical analysis of individual literary works. The purpose of the study is to create conditions for the interpretation of literary works on the basis of historical discourse in which it is assessed diachronic consideration of the phenomena. Because of this plan, it is necessary to rely primarily on the results of archetypal criticism, which interferes with the mythology, history and poetry. The width of the problem, however, forces us to take into account also the methods of Jungian psychoanalysis, structural analysis and literary hermeneutics. All these methodological procedures substantially affect the content, meaning and interpretation of constants contained in mythical, religious, historical, artistic and esoteric texts. The importance of reading poetry and literary works of art, commonly categorized into the canon of European literature suggests that their authors proceeded not only from the contemporary literary context, but their works are substantially touching elements of religious, mythical and cultural-historical life. Given these facts, we must emphasize the importance of research in the field of analysis and classification of archetypes, symbols, prototypes antitypes, images and comparisons. Information acquired by analysis of individual literary works necessarily lead to finding the meaning of literary works. This will constitute the meaning of a literary work as much timeless phenomenon that happens through reading and interpretation of the poetic works regardless of place and time. Thus exposed research trajectory of a literary work is generally recommended for each literary critic, who deals with a unique interpretation of a particular literary Osman Nor Hashimah JalaluddinThe traditional Malay works, as a national legacy to symbolize the epitome of quality penmanship by earlier Malay writers, are perceived to be superficial for embracing myths in them. This study, thus, examined the significance of the myths in these selected works. Data related to myths were cited from The Malay Annals and analysis was performed using an ad-hoc concept in the Relevance theory which is a pragmatic theory. The findings of the study suggested that myths are metaphors serving as a social criticism. Guided by an adequate linguistics theory, this study has suggested that myths in the traditional Malay works carry significant second edition synthesizes the emerging knowledge base on the diversity of stepfamilies, their inherent concerns, and why so relatively little is still known about them. Its extensive findings shed needed light on family arrangements relatively new to the literature cohabitating stepparents, the effects of these relationships on different family members stepsiblings, stepgrandparents, the experiences of gay and lesbian stepfamilies, and the stigma against non-nuclear families. Coverage reviews effective therapeutic and counseling interventions for emotional, familial, and social challenges of stepfamilies, as well as the merits of family education and self-help programs. The authors explore prevailing myths about marriage, divorce, and stepfamily life while expanding the limits of stepfamily research. Among the topics included • The cultural context of stepfamilies. • Couple dynamics in stepfamilies. • Gay and lesbian couples in stepfamilies. • The dynamics of stepparenting. • Siblings, half-siblings, and stepsiblings. • Effects of stepfamily living on children. • Clinical perspectives on stepfamily dynamics. For researchers and clinicians who work with families, it enriches the literature as it offers insights and guidelines for effective practice as well as possible avenues for future research. Esther EidinowThis paper proposes that “myths” and myth-making can provide a framework for not only capturing ecological wisdom within its specialist domains, but also transmitting it as actionable knowledge beyond the boundaries of those domains. It argues that understanding the relationship between myth and “wisdoms” can lead to a powerful process for thinking about ecological futures, which may be realized through a strategic process such as AdgerThis review article examines some of the claims recently made in a book and article by Vyvyan Evans, which argue that the generative approach to syntax is flawed. It exposes a number of misrepresentations, misunderstandings and mistakes in these works and argues that the general case has not been made.
Dok. Thinkstock Jakarta - Imej ibu tiri selama ini kejam dan tidak peduli pada anak-anak dari suami mereka. Tentunya tak semua wanita jadi ibu tiri yang jahat saat memilih menikah dengan duda hal-hal yang bisa dilakukan agar anak dekat dengan Anda dan tak menganggap Anda sebagai ibu tiri yang jahat. Berikut ini bagian pertama dari 10 cara yang dapat dicoba untuk menjadi ibu tiri yang baik. Tips ini dipaparkan seorang wanita bernama Bing yang merupakan ibu tiri dari dua anak dalam blognya storyofbing1. Anak Tidak Punya PilihanIni adalah hal pertama yang Anda harus pahami ketika menjadi seorang ibu tiri bahwa anak-anak tidak punya pilihan ketika orangtua mereka bercerai. Ingatlah bukan anak-anak yang memilih Anda menjadi ibu tiri mereka. Anda yang memilih mereka dan ayahnya. Tentu akan kurang realistis dan tidak sensitif jika Anda berharap anak-anak bisa langsung menerima Anda ke dalam keluarga. Kecuali Anda menikahi pria berumur 60 tahun dan seluruh anak-anaknya sudah dewasa dan menikah, kondisinya akan berbeda. Tapi kalau Anda menikahi pria yang buah hatinya masih anak-anak atau bahkan remaja, jangan berharap mereka akan dengan antusias memberikan pelukan dan ucapan selamat datang dengan Cintai Anak-anakNasihat kedua ini terkesan mudah untuk dilakukan. Tapi menurut Bing, 99% ibu tiri kenyataannya punya masalah dengan anak tiri dan sulit mencintai mereka. Perlu usaha dan terus belajar untuk mencintai anak-anak tiri Anda. Anda harus mencintai mereka di kala senang, mereka nakal, atau bahkan mencintai mereka di saat Anda merasa sudah tidak sanggup lagi melakukannya. Anda pun tetap harus mencintai anak-anak suami, meskipun mereka tidak memberikan cinta yang sama. Satu-satunya cara untuk membangun hubungan yang berarti dengan anak adalah dengan membuat mereka paham kalau Anda memang benar-benar tulus mencintai Jangan Berharap Anak-anak akan Memanggil Anda 'Ibu' atau 'Mama'Wanita berhak mendapatkan panggilan 'ibu' ketika dia melahirkan anak atau membesarkan anak setidaknya dalam kurun waktu 80% hidup mereka. Sebenarnya yang penting adalah bukan bagaimana mereka memanggil Anda, tapi bagaimana Anda membangun hubungan dengan mereka. Fokuslah pada hal itu, meski Jadilah Orangtua, Bukan TemanIbu tiri biasanya akan berusaha keras untuk menyenangkan anak-anak tiri mereka. Lakukan hal itu di awal mendekatkan diri dengan mereka, karena tentunya Anda tak mau anak marah sebelum akhirnya Anda membangun hubungan apapun. Namun ketika Anda sudah melihat anak memahami kalau Anda memang mencintai mereka, lakukan langkah selanjutnya dan jadilah orangtua. Anak-anak tidak butuh ibu tiri mereka menjadi seorang mereka butuhkan adalah orangtua, yang mengajarkan mereka apa yang benar dan mengoreksi jika mereka salah. Tugas Anda adalah memberikan kasih sayang, petunjuk dan mencintai mereka. Jangan ajari anak hal-hal buruk hanya karena ingin membuat kesan Anda adalah orang yang Selalu, Selalu, Selalu Ada untuk AnakAnak tiri sudah melalui perceraian dan bisa jadi hal itu sangat buruk dan berat. Terkadang anak bisa berada dalam situasi di mana tidak ada siapapun ada untuk mereka. Sebagai seorang ibu tiri, hadiah terbaik yang bisa Anda berikan pada anak tiri adalah dengan selalu memprioritaskan dan hadir untuk mereka. Terutama ketika ayah atau ibu mereka tidak bisa ada di sana. eny/eny
Kenapa ibu tiri identik dengan seorang ibu yang jahat dan memperlakukan anak tirinya dengan buruk? Kenapa seorang ibu tiri mendapatkan image negatif oleh banyak orang? Hal ini dipengaruhi oleh berbagai peristiwa yang pernah terjadi dimana memang seorang ibu tiri tidak menyukai, mencintai dan menyayangi anak tirinya seperti anak kandung sendiri. Inilah yang juga menjadi penyebab orang tua pilih kasih terhadap anaknya. Sementara, bahaya menampar anak bagi orangtua tiri akan membuat imagenya semakin berbagai tontonan dari sinetron yang banyak memperlihatkan tayangan seorang ibu tiri yang jahat. Ditambah lagi dengan persepsi masyarakat yang cenderung menganggap ibu tiri tidak akan bisa menyayangi anak tirinya dengan tulus dan memperlakukannya dengan seorang anak yang harus hidup dengan ibu tiri, apa yang harus dilakukan jika memang pada kenyataannya ibu tiri ini bersikap jahat dan licik? Menghadapi orang yang licik memanglah tidak mudah terlebih lagi jika ia sangat pandai dalam memainkan perannya. Tak jarang saat anak mengadu pada ayahnya, yang terjadi justru sebaliknya, di mana sang ayah lebih mempercayai ibu tiri daripada anak kandungnya menganggap anaknya hanya merasa cemburu atau merasa tidak terima karena posisi itu kan dengannya tergantikan sehingga mengadukan hal-hal jelek tentang ibunya. Nah, berikut adalah cara menghadapi ibu tiri yang licik agar berbalik menjadi Cobalah ubah pandangan negatifmu tentang ibu tiriIbu tiri dibayangkan sebagai sosok yang kejam dan menakutkan sehingga hal ini terus tertanam dalam pikiran. Pengaruh pikiran negatif inilah yang membuat kamu selalu merasa tidak nyaman berada di dekat ibu tiri. Bahkan baik ibu tiri pun bisa kamu pandang sebagai hal yang negatif sehingga apapun yang dikerjakan oleh ibu tiri terlihat buruk dimatamu. Bahkan hati mereka dipenuhi oleh kecurigaan karena pikiran kamu sudah tersetting untuk menghapus image baik seorang ibu Coba sayangi dan cintai ia dengan tulus layaknya ibu kandung sendiriApa yang kita tabur itulah yang kita tuai, jika kita berbuat baik kepada seseorang maka kebaikan pula yang akan kita dapat. Agar ibu tiri bisa memperlakukanmu dengan baik maka kamu juga harus memulai untuk berlaku baik padanya. Mencintai dan menyayanginya dengan tulus layaknya ibu kandung sendiri kamu sendiri. Perlahan hati seorang ibu tiri itu juga akan bisa berubah seperti dengan apa yang kamu rasakan. Sementara, seorang ibu tiri juga harus bersikap sama utnuk cara mendidik anak Perlakukan ia seperti ibu kandungmu sendiriTerkadang seorang anak sulit untuk menerima kehadiran seorang ibu tiri yang menggantikan posisi ibu kandungnya. Sikap yang tidak mau menerima ini membuat hubungan anak dan ibu tiri tidak berjalan dengan baik. Begitu juga sebaliknya dimana seorang ibu tiri juga merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan sang tiri juga bisa merasakan cemburu melihat hubungan anak dan ayahnya. Terlebih jika ia merasa terabaikan dan dikesampingkan. Maka dari itu seorang anak juga harus mencoba untuk membangun hubungan yang baik dengan ibu Jadilah anak penurut untuk mengubur rasa tidak sukanyaSeorang ibu tiri berlaku licik bisa dikarenakan karena dirinya yang belum bisa memposisikan diri sebagai ibu yang baik untuk anak tirinya. Ditambah lagi dengan pikiran-pikiran negatif tentang anak tiri yang nakal atau dimana ia berada di posisi tersalahkan saat anak nakal. Sebagai anak, cobalah menjadi anak yang baik dan penurut padanya agar ia pun sadar bahwa memiki anak tiri tidak seburuk yang ia Bicarakan dengan ayahHal yang harus dilakukan seorang anak terlebih dahulu dalam cara menghadapi ibu tiri yang licik adalah dengan membicarakan permasalahan ini dengan ayah. Ayah adalah orang yang paling tepat yang bisa mengatasi permasalahan ini dikarenakan ibu tiri adalah orang yang beliau pilih sebagai pengganti ibu dari anak-anaknya. Ayah yang bijak akan bisa menyikapi permasalahan ini dengan baik dan bukannya malah berat sebelah. Seorang ayah pun harus bisa memahami anak untuk menghindari berbagai penyebab anak melawan orang Bicarakan dengan keluarga yang lainJika berbicara dengan ayah tidak memberikan solusi yang baik dan tidak merubah apapun cobalah untuk mencari cara menghadapi ibu tiri yang licik dengan membicarakan masalah ini dengan anggota keluarga lainnya seperti om atau tante. Pastikan kamu tidak memendam perasaan dan menghadapinya sendirian yang bisa membuat kamu jadi Cuek dan jangan ambil pusing selama beliau tidak menyakitimuSeperti apa liciknya seorang ibu tiri? Selama ia tidak melakukan kekerasan dan merugikan diri kamu sendiri sebaiknya abaikan saja semua perbuatannya itu. Selama beliau tidak berusaha membuat hubungan kamu dan ayahmu jadi retak, abaikan liciknya ini terjadi bisa dikarenakan perasaan iri padamu karena ayahmu lebih perhatian padamu. Yang terpenting adalah tetap menjadi anak yang baik, terutama pada ayah. Jadi jika beliau mencoba menghasut ayahmu, hal itu tidak akan mempan karena kamu tahu siapa dirimu dan bagaimana kamu 7 cara menghadapi ibu tiri yang licik agar berubah menjadi baik. Meski begitu, tidak semua ibu tiri itu memiliki ciri-ciri wanita berhati busuk. Dan bagi ibu tiri, cobalah berbagai cara menghadapi anak tiri yang belum bisa menerima Anda. Simak juga cara mengetahui orang tua kandung atau bukan untuk menjawab rasa penasaranmu. Post Views 1,656
ciri ciri ibu tiri yang jahat